Terus
terang menuliskan suatu tempat yang kita kunjungi bukanlah hal yang
gampang bagiku. Aku tidak bisa begitu saja menuliskan sebelum memperoleh
secara lengkap persyaratan utama sebuah tulisan aku naikkan ke blog
ini: (a) ada cukup foto-foto yang mewakili keberadaannya (b) ada
informasi yang nyambung dengan lokasi, ini yang kadang-kadang sulit
seperti tulisan tentang Waewini dan Legenda Sebuah Kampung yang Hilang yang
meskipun mendapatkan bahan cerita tapi harus melengkapi nilai filosofis
dan reason yang dapat diterima, (c) ada suasana batin yang mewakili
sehingga saat orang mencapai lokasi ini dapat merasakan apa yang ada di
foto.
Akhirnya
kadang tulisan gak naik tampil hanya kadang-kadang faktor tertentu yang
mungkin gak lebih dari 10%, karena yang sedikit itu kadang bisa membuat
berantakan yang 90%-nya.
Seperti tulisan Menikmati Sawah dan Perbukitan merupakan
tulisan yang masih ada di 90% yang aku paksa naik karena seperti
wartawan aku pun dikejar target (pribadi) untuk bisa menulis minimal 1
tulisan tiap bulan. Padahal seharusnya di tulisan itu aku bisa lebih
mengeksplore dangau-dangau dan gua-gua buatan jepang tapi rasanya kalau
itu menjadi pelengkap maka Nagekeo gak pernah bisa aku tuliskan. Toh
sampai saat ini aku juga belum bisa mengambil foto seperti itu
(pembelaan ceritanya)
Tulisan ini
adalah pelengkap tulisan Nagekeo yang sebenarnya sampai saat ini pun
masih belum bisa dilengkapi. Belum lengkap karena rasanya aku belum
mendapatkan daerah-daerah yang menarik yang biasanya justru kurang
tereksplore karena sulitnya medan atau justru karena kurang
diperhatikan.
Foto-foto
ini terekam dari perjalanan selama dua minggu di Kabupaten Nagekeo.
Cuaca sebenarnya kurang bagus, maklum bulan-bulan begini hampir tiap
hari mendung enggan beranjak. Sekali-kalinya cerah juga tak selalu bisa
diharapkan karena kadang cuaca berubah sedemikian cepat.
Rerumputan di arah jalan ke Maukaro |
Jika ditanya
view apa yang menarik di Nagekeo, salah satunya adalah menikmati senja
di atas perbukitan savannah. Kadang jika kita beruntung, puluhan bahkan
ratusan ternak kambing atau sapi melintas pulang. Angin berdesau yang
meniup rumput-rumput hijau yang meninggi, sementara di langit senja
membentuk gradasi warna yang tak pernah bisa diperkirakan dan memang
seharusnya tidak perlu diperkirakan.
Lenguhan-lenguhan
sapi dan embikan kambing serta bunyi serangga pengiring malam seperti
simponi senja menjelang malam. Burung-burung seperti burung walet,
sri-gunting atau beberapa spesies lain mencuit melintas menuju sarang.
Kadang pula bunyi tokek bisa terdengar begitu nyaring di kejauhan.
Jangan
pedulikan bunyi raungan motor atau mobil yang kadang terdengar begitu
mengganggu, mereka mahluk-mahluk yang jarang menampakkan suaranya di
atas padang-padang ini walaupun sekalinya melintas membuyarkan semua
suara yang ada.
Ada kalanya aku
merutuk mendengar si mesin bising itu dan berharap di tempat dan waktu
seperti ini mahluk-mahluk seperti itu ditidurkan sejenak. Biarlah ada
rotasi suasana tapi siapa bisa memaksakan teknologi.
Senja di ambil dari belakang rujab Bupati |
Sedikit
pemandangan berbeda aku temui saat kita melakukan perjalanan menuju ke
Riung. Riung adalah tempat wisata 17 pulau yang masih masuk kabupaten
Ngada namun memang lebih dekat ke Riung melalui jalur Nagekeo daripada
dari Bajawa (ibukota Ngada).
Perjalanan ke
Riung dengan kondisi sekarang aku tempuh sekitar dua jam, itu pun lebih
karena faktor kondisi jalan yang tergolong rusak berat. Kira-kira
separuh jalan dari Mbay menuju ke perbatasan Nagekeo-Ngada kondisinya
cukup memprihatinkan, ruas-ruas jalan banyak ditemui lubang seperti
kubangan kerbau. Perjalanan menuju sisi laut utara Flores ini juga
banyak ditemui kawasan perbukitan savannah tapi entah kenapa banyak yang
rumputnya belum cukup tinggi, besar dugaan di daerah ini karena dekat
dengan laut jadi curah hujan kurang dibanding perbukitan di jalan masuk
menuju Nagekeo.
Namun ada
sebuah perbukitan yang dari jauh bentuk terjal dan unik dan setelah kita
sampai di bawahnya juga memiliki pemandangan yang cukup unik. Menurut
informasi, perbukitan ini ada di daerah Beke. Jika dibukit-bukit sebelah
jalan banyak tumbuh padang savannah maka di bagian landai bukit ini di
beberapa spot tumbuh tanaman liat berbunga kuning yang tumbuh di
sepanjang mata memandang. Aku sendiri kurang tahu persis tumbuhan ini,
namun karena tumbuh merata bukit ini jadi tampak istimewa.
Bunga-bunga kuning di perbukitan Beke (perbatasan Riung-Nagekeo) |
Lala eh Kadek in action....... (parental guidance) |
Aku tidak tahu
persis apa nama tempat dan bukit ini selain bahwa daerah Beke, namun
karena warna hijau dan kuning yang begitu dominan serta bentuk yang
begitu menarik maka kami sepakati menyebut bukit ini dengan dengan bukit
Teletubbies hehehe... Kami berangkat berempat persis dengan jumlah
Teletubbies sehingga tiba-tiba kami saling menjuluki sesuai umur kami,
jika aku menjadi Twingkie-Wingki karena aku yang paling tua, berarti si
Nyoman menjadi Gipsie, Sukoco rela menjadi Poo dan Kadek harus mau
dipanggil Lala.
Ah..
hahahaha.... rasanya jadi aneh tapi menyenangkan juga. Setelah berpenat
diri berhari-hari bisa melepaskan diri dan bercanda tanpa beban pikiran
membuat pikiran menjadi segar.
Membiarkan alam
masa kecil bermain, berfoto gila-gilaan... dan berimajinasi seolah-olah
seorang Sun Go Kong ada di balik bukit ini dan berlatih menjadi kera
yang paling sakti, atau tiba-tiba ingin memahat bukit-bukti ini menjadi
wajah-wajah kita....
Ah, ternyata memang setiap pria menyimpan jiwa anak-anak dan di saat tertentu akan muncul kembali.
Tidak ada komentar: